He Is In Love

abel
2 min readDec 17, 2023

--

Semua rangkaian jam kerja telah berakhir. Perut kami sudah penuh dengan anggur merah, pasta, dan tawa. Tiba di apartemennya, listrik tengah padam serentak.

Ia membuka pintu apartemennya.

Tanganku langsung merentang lebar. Melebur ke dalam pelukan lelaki bertubuh besar itu. Aroma maskulin dari parfum yang ia kenakan tadi saat bekerja masih menempel kuat di kemeja putihnya. Ia menciumi puncak kepalaku dan tetap menahan posisinya seperti itu sembari mengayun-ayunkan tubuhku. Berdansa mengitari ruangan utama apartemennya sambil tertawa lepas hingga lupa menyalakan genset dan hanya mendapat bantuan dari sinar bulan. Aku menyukai ini. Apakah aku salah? Mamanya bilang, aku harus menjaga jarak dengannya sebab aku dan dia kini adalah dua orang dewasa. Tetapi, aku tidak merasakan sesuatu dalam diriku. Aku jelas mengerti seperti apa jatuh cinta itu.

Aku yang salah atau dia yang salah?

“Ah, pusing,” keluhnya.

“Ya, makanya jangan kayak anak hiperaktif. Sini duduk. Duduk!”

Aku menarik tubuhnya duduk di lantai. Punggung bersandar pada sofa. Ia merangkul pundakku dan tertawa seperti orang sedeng kepenuhan alkohol.

Aku mengistirahatkan kepalaku di atas dada bidangnya.

Pada momen ini, aku jadi banyak memikirkan perkataan Dylan. Mungkin aku salah, tapi kini aku dapat mendengarnya sekalipun dalam keheningan.

Aku dapat melihatnya meskipun dalam keadaan lampu sedang padam. Detak jantungnya yang dekat dengan indera pendengaranku. Berdetak lebih cepat dari milikku. Deru napasnya di atas kepalaku terdengar seperti tarikan napas berat.

25 tahun menghabiskan hidup bersama Ian. Apakah itu yang mengaburkan batasan antara aku dan dia? Sehingga aku tidak menyadari perlakuanku ditangkap berbeda oleh Ian? Kalau ini benar, maka ini adalah kesalahanku.

Kepalaku menoleh menatap parasnya. “Are you okay?”

“Hm?” suaranya lembut bertanya.

“Nothing.”

Sorot matanya yang sayu menatapku lama. Ini menjadi ajang tatap-menatap antara aku dan dia tanpa tujuan apapun. Aku mengunci tatapan matanya juga. Namun aku mengerti suasana macam apa yang ia sedang bangun. Aku menanti apa yang akan terjadi selanjutnya jika instingku benar.

Kini, satu tangannya bergerak menangkup rahangku. Ia menarik rahangku mendekat padanya hingga mengikis jarak antara aku dan dia. Ia memiringkan kepalanya dan batang hidung kami sudah bersentuhan. Aku tahu apa yang akan terjadi. Aku tahu jelas. Ia menempelkan bibirnya pada bibirku. Menahan bibirnya di sana. Dan, dalam beberapa detik aku jelas tersadar apa yang sedang ia lakukan. Lantas, aku mendorong tubuhnya. Ciumannya terlepas dari bibirku.

“Apa maksudnya itu?”

“You are my bestfriend,” katanya sehabis mencium bibirku.

Sorot matanya seperti sedang bermimpi. Pada detik ini, aku tahu itu apa. Dia benar-benar sedang jatuh cinta. Dan, aku menamparnya.[]

--

--

No responses yet