birthday dinner

abel
4 min readDec 30, 2023

--

“Sorry, aku dateng tanpa bawa apa-apa,” ucapku menyengir di depan pintu rumahnya. “Waktunya mepet jadi aku gak bisa beli kado. Tapi, aku bawa ini.” Aku menunjukan wine yang ku bawa. Aku mencuri milik papa.

“Gak apa-apa banget! Minumannya cocok sama tema makan malamnya. Ayo, masuk.”

Jessie mempersilahkan aku untuk masuk. Dalam kesempatan ini, aku biarkan mataku menjelajah seisi interior rumahnya ketika melewati area ruang tengahnya. Aku tidak begitu paham istilah-istilah design. Tapi, rumahnya dominan oleh unsur gothic yang modern. Identik dengan pencahayaan yang remang-remang juga. Berarti penilaianku tidak keliru, dia adalah pria yang menggemari kemewahan.

Tetapi, ketika memasuki area dapur. Pencahayaan sedikit lebih terang dan tone warna hitam berkurang. Warna hitamnya hanya dapat didapati pada meja barnya yang memakai marmer hitam dan kabinet dapur.

Ia menarik kursi untuk mempersilahkan aku duduk. Gestur kecilnya membuat puncak kepalaku memanas.

Setelahnya, ia sibuk melipir ke area kompor. Melihat gerak-geriknya aku jadi teringat tanteku di Purwakarta. Ia mirip tanteku kalau sedang sibuk menyiapkan makanan.

“So, menu malam ini adalah .. steak,” ujarnya mengeluarkan dua piring. Kemudian ia hidangkan satu di hadapanku. Ia pergi lagi ke meja kompor. Mengantarkan dua mangkuk kecil berisi mash-potato. Setelah itu, menyusul peralatan makan seperti sendok, garpu, dan pisau.

“Ini aku masak dari bahan-bahan yang masih ada di kulkasku. Semoga aja gak zonk, ya.”

“Kak Jessie chef, kah?”

“Nah, coba tebak-tebakan,” katanya sembari menjentikan jari dan ujung jarinya menunjukku. “Kalau bener, aku kabulin permintaan kamu malam ini.”

“Gak kebalik, hah?” Aku tertawa. “Kakak birthday boy-nya. Harusnya aku yang ngomong gitu gak, sih?”

Ia menghilang dibalik meja bar namun aku bisa mendengar suaranya menjawab, “Buat aku rasa bahagia yang didapetin dari nyenengin atau ngelayanin orang lain itu jauh lebih genuine rasanya. Altruism.”

Well ..” Aku mengangguk-anggukan kepala. “Tapi, ini hari ulang tahunmu.”

Kepalanya menyembul dari balik meja bar. “Sebentar, ya. Aku ganti baju dulu. Bau keringet kayaknya.”

Aku tertawa ringan. “Oke.”

Hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk pria itu mengganti bajunya. Datang-datang, ia mengenakan kemeja merah muda pucat dan membawa 2 gelas wine ke meja makan.

Ia duduk rapih. Menarik napas sampai dadanya membusung. “Selamat makan, Manda.”

Hatiku merekah setiap namaku disebutnya. Nampaknya, dia juga pria yang mengerti cara membiarkan wanita merasa spesial.

“Happy Birthday, Kak Jessie. Thankyou udah undang aku makan malam ke rumah kakak.”

Ia memberi gestur satu tangan kirinya menempel pada dada kanannya kemudian membungkukan badannya sekilas. “Sama-sama. Itung-itung syukuran rumah baru.” Kak Jessie menuangkan anggur ke gelasku. “Makasih juga udah nemenin aku yang kesepian ini. Kamu tamu pertama di sini.”

“Ah, jadi merasa tersanjung nih aku.” Aku terkekeh. “Sesama makhluk kesepian harus saling menghibur.”

Ia tertawa lagi. Sepertinya kami bisa cocok satu sama lain karena kita menemui kondisi yang sama. Aku rasa, kita sama-sama tahu tanpa harus menjelaskan. Manusia mana yang minta ditemani merayakan ulang tahun dan malam tahun baruan pada orang yang baru dikenal, kecuali mereka mengalami mencapai titik kesepian kronis.

“Kalau aku tahu menu makannya begini, aku pakai baju lebih proper.”

Kami mulai menyantap hidangan makan malam sembari berbincang. Kak Jessie menimpali, “Kamu pake kemeja putih sama celana jeans, itu aja udah proper kok.”

Dia masih melanjutkan keluh-kesahnya, “Rumah ini belum didoain pendeta. Aku belum adain ibadah ucapan syukur juga. Masih ada penduduk lama kayaknya di sini, nih.”

Aku menyuap satu potong daging ke dalam mulut. Kedua alisku terangkat.

“How was it?” tanyanya penasaran.

“Jujur aja. Ngaku, deh. Kak Jessie chef dimana? Gak mungkin orang awam masak sesempurna ini. Rasanya kayak makan steak di Ironplate.”

Kak Jessie tertawa. Dan, aku baru menyadari cara ia tertawa. Senyumannya membentuk kotak dan itu memberikan aksen inosen pada wajahnya. Oh, God. Jangan buat aku tambah jatuh cinta, bisa? Rasanya sakit kalau pada akhirnya dia tidak berakhir padaku.

“Aku bukan chef,” jawabnya. “Baru setahun terakhir ini aja aku sering masak steak sendiri di rumah. Mungkin dari situ skill-ku udah improve. Syukurlah rasanya enak pas kamu yang makan. Malu aku kalau rasanya zonk.” Dan, ia melanjutkan lagi. “Itu resep turun-temurun,by the way.”

Kedua mataku terbelalak. “Oh, ya? Itu jauh lebih autentik.”

“Eh?” Ia memiringkan kepalanya sekilas seperti anak anjing. “Terlalu lebay buat bilang turun-temurun, sih. Soalnya resepnya baru diturunin dari mamaku ke aku. Belum jauh.” Kak Jessie menatap mataku lamat-lamat. “Aku masak tiap kangen Mamaku aja.”

Suaranya tenang sekali meskipun tengah kalimat yang terucapkan dari mulutnya membuat dadaku terenyuh sekejap. Sekarang arah percakapannya telah mengerucut. Entah kearah mana ia membicarakan tentang mamanya. Aku paham, hanya saja tidak ingin membuat prasangka-prasangka.

“Tapi, sayangnya sampai sekarang aku belum ketemu rasa yang pas kayak mamaku bikin.” Kepalanya terus tertunduk. “Buatan mamaku masih lebih enak lagi dari ini. Aku jadi suka kesel karena tiap masak, rasanya gak mirip. Padahal dari makanan doang aku bisa ketemu mamaku.”

“I’m sorry for hear that.”

Ia menggelengkan kepala atas jawabanku. “Ah, it’s okay. It’s been 2 years.”

“2022 is a tough year, isn’t it?”

Ia mengangguk tanpa melepaskan pandangannya dari netraku. “Aku masih belum terbiasa.”

“Butuh waktu lama untuk terbiasa.”

--

--