49. Weird Proposal

abel
5 min readMar 29, 2024

--

“Papa ..”

Pintu kamar nomor 1700 dibuka. Suri mendapati Papanya tersenyum di atas ranjang.

Mama memberi peringatan pada Suri begitu melihat betapa girangnya anak itu bertemu Papanya. “Pelan-pelan, Nak.”

Jimmy mengangkat satu tangannya menyapa Om Felix. “Hai, Om.”

Suri menarik kursi. Duduk di samping Papa sembari menggenggam salah satu tangannya. “Papa gimana? Apa yang dirasa? Udah mendingan?”

Papa menjawab dengan suara lemah dan lirih, “Papa capek.”

Ucapan Papa barusan adalah hal yang paling mengiris hati Suri. Selama ia hidup menjadi anak Papa, sudah setiap hari melihat bagaimana bekerja pagi hingga malam untuk dirinya. Baru kali ini, dalam indera pendengaran Suri mendengar Papa mengeluh lelah. Kalau sakitnya lebih melelahkan daripada kerja seumur hidupnya, berarti Papa tidak memiliki pengharapan lagi.

“Papa, harus percaya bisa sembuh. Gak ada yang mustahil buat Tuhan. Percaya, ya? Pikirin hal-hal baik dalam kepala biar gak stress.”

Papa mengangguk lemah. “Suri ..”

“Iya, Pa?”

“Menikah.”

“Menikah?”

Papa mengangguk lagi.

“Tapi, aku — ” Begitu mendengar kata ‘tapi’, Jimmy seketika berinisiatif sendiri menginjak kaki Suri sebelum Mama Suri sendiri menyuruh Jimmy untuk menghentikan Suri. Lantas wanita itu tersenyum mengubah jawabannya sembari menahan jeritannya yang tertahan, “Iya, aku mau menikah, kok. Papa juga harus udah sehat pas hari-h, ya!”

“Iya ..”

“Janji?”

Papa menganggukan kepalanya pelan.

“Permisi ..” Seorang suster masuk ke dalam ruangan. Menginterupsi momen keakraban ayah dan anak di sana. “Waktu jenguknya sudah selesai. Pasien harus istirahat.”

“Oh, iya. Baik, suster.” Mama merangkul Jimmy dan mengangguk pada Suri memberi kode padanya untuk keluar. “Ayo, keluar semuanya.”

“Besok kamu ada flight?” tanya Mama Suri usai mereka semua keluar dari ruangan.

Suri menggeleng. “Gak, ma. Aku lagi cuti, ‘kan? Udah bilang waktu itu.”

“Kamu gimana perkembangannya?” lanjut Mama.

Kalau seandainya Suri dapat merotasikan bola matanya, mungkin begitulah ekspresinya sekarang. Disertai hembusan napas kasar. Namun, ia tidak bisa seperti itu di depan Mama atau wanita senior itu akan tersinggung. Pertanyaan Mama terasa seperti tagihan kartu kredit yang menanti untuk segera dilunaskan.

“Ya, mana ada orang ketemu jodohnya diatur pakai waktu.” Suri menjawab tak habis pikir. “Aku yakin, kalau Papa bisa bicara sekarang, ucapannya beda sama Mama. Keinginan Papa memang liat aku menikah, tapi dia gak akan maksain kehendak dia sendiri. Karena gimanapun, Tuhan yang atur waktunya. Mama ini mau ngelawan-ngelawan kehendak Tuhan atau gimana?”

“Mama ini gak maksa kamu, ma — ”

“Dari kemarin, apa memangnya yang Mama lakuin? Aneh banget.”

“Iya, dengerin Mama dulu. Maksud Mama, selagi ada kesempatan. Kita maksimalkan usaha kita sendiri. Kalau ternyata kamu bisa dapetin di saat Papa masih hidup, itu mujizat. Tapi, kalau kamu menikah setelah Papa udah gak ada. Itu juga gak apa-apa, Suri. Selagi Papa masih ada, manfaatkan sebaik mungkin. Kamu itu kalau gak di desak begini, bakalan set bare minimum serendah-rendahnya. Kamu gak bakalan kepikiran buat cari jodoh atau nikah. Bakalan santai kamu. Mana ada kamu mikir sejauh itu? Papa kamu udah berulang kali tagih kamu nikah. Mau liat kamu nikah dari lama, tapi kamu cuek aja tuh. Memangnya waktu mau nunggu kamu terus, Suri?”

Mama menggeleng-gelengkan kepala. Memegang keningnya. Pening. “Kalau kamu kesulitan cari calon, Mama bantu. Pakai calon pilihan Mama,”ujarnya. “Udah. Kalian berdua pulang sana. Istirahat. Mama lanjut di sini, nunggu ganti shift jaga sama adiknya Papa,” ujar Mama.

Suri diam membatu. Sebenarnya, masih ada bantahan bercokol di kepalanya. Ia mengusap tangannya yang terasa dingin. Tetapi, ia memilih menelannya daripada melanjutkan keributan.

Netra pria itu tidak mampu fokus pada jalanan di depannya. Manik hitam matanya terus-menerus melirik perempuan di sisinya. Tengah menyandarkan kepalanya pada jendela mobil dengan sorot mata yang memandang keluar.

Jari Jimmy menyolek siku wanita itu pelan. “Ey,” panggilnya. “Tidur.”

“Gak mau.”

“Lo udah 2 hari tidurnya berantakan.”

“Sampai ketemu mempelainya baru gua tidur.”

“Gak usah lebay.”

“Lagian aneh-aneh aja nyokap gue.”

Keheningan kembali menyelimuti kendaraan yang tengah menembus malam. Berkecepatan tinggi di jalan raya lapang. Isi kepala Suri sulit untuk tenang.

“H Club, mau?” tanya Jimmy.

“Orang lagi pusing, lo tawarin dugem. Bener-bener.”

Manik mata Jimmy mengecek keadaan Suri sepintas kemudian beralih lagi pada jalanan di depannya. Ia mencolek sekali lagi perempuan itu. “Berhenti dulu mikirnya. Capek tuh otak. Mau kemana? Gue ladenin, dah. Bensin gue full tank.”

“Mcflurry,” jawab Suri. “Eskrim.” Suri menjawab tanpa memalingkan wajahnya pada Jimmy. “Makan di dalem mobil aja tapi.”

“Ok!” Kakinya langsung menginjak gas. Kendaraannya meluncur bebas di tengah jalanan yang lapang.

“Mcflurry matcha satu. Sama ..” Jimmy berpaling dari mesin drive thru, menatap sahabatnya yang duduk anteng di kursi penumpang. “Lo mau apa?”

“Mau mcnugget juga large spicy yang isi 6. Mcflurry matcha sama big mac large. Kentangnya upgrade yang curly large. Sama minumnya upgrade iced cafe latte,” katanya menjabarkan pesanannya. “Oh, medium. Iced cafe latte nya medium ya, mbak.”

Raut wajah Jimmy mencibik. Menghina. Menghakimi. Ambil kesempatan banget mentang-mentang dibayarin.

“Ada lagi yang mau ditambah, kak?” tanya suara pelayan lewat mesin.

“Eh, tambah it — ”

“Gak. Itu aja.” Tangannya cepat-cepat membekap mulut Suri. “Stop.”

Setelah menyelesaikan pesanan dan membayar, Jimmy memarkirkan mobil pada salah satu spot parkiran. Sebenarnya, ada banyak spot kosong di parkiran mengingat mereka datang ke sana pukul 1 pagi.

“Lo ini mau makan siang apa ngemil malem??”

“Ngemil.”

Jimmy tidak bisa menghakiminya sekarang karena teringat betapa menderitanya Suri sekarang. Namun, bibirnya tidak bisa berbohong. Tetap terlihat mencebik menggambarkan suara antagonis yang dapat ia dengar sendiri dalam hatinya.

“Barusan banget makan nasi, loh.” Ada banyak kalimat hujatan yang ingin ia keluarkan. Tapi, ah sudahlah. Terserah, deh.

“Udah lo tenang aja. Stok temen gua buat dikenalin masih banyak,” ujar Jimmy seakan dapat membaca isi kepala temannya. “Entar gua atur lagi kencan butanya.”

Suri menghembuskan napas kasar bersamaan dengan pundaknya yang jatuh lesu. “Seandainya keinginan terakhir Papa minta beli satu tanah buat dijadiin lapangan golf, masih gua jabanin dah.”

“Gue udah ditahap berdoa, lo tau?? Gue kabur dari Tuhan bertahun-tahun dan balik cuma buat minta jodoh. Te — ”

… sebentar.

SEBENTAR.

Bodoh, anjir. Bagaimana bisa ia sampai sejauh ini bodohnya?

Mata Suri menangkap siluet pantulan sosok teman kecilnya pada kaca jendela. Jimmy. Dia juga pria. Ya, iya, dia memang selama ini pria.

Apa Tuhan menjawab doanya? Dengan menyusupkan suatu ide cemerlang dalam kepalanya. Sebab, bagaimana bisa ia sudah menghabiskan 24/7 bersamanya dan tetap tidak pernah terbesit sedikitpun sebelumnya?

Gila.

Buat apa punya sahabat pria dan dimana setiap teman yang melihat Jimmy memuji pria tersebut tampan, tampan, dan tampan. Tapi, tidak ia manfaatkan?

Diameter pupil mata Suri membesar. Tempo jantungnya semakin menggila. Adrenalin untuk menanyakan penawaran ini membuatnya ketakutan. Kini, telapak tangannya mulai basah dan semilir mesin pendingin dalam mobil terasa dua kali lipat lebih dingin dari normalnya. Sebentar. Ia harus memastikan dirinya sekali lagi.

Serius?

Jimmy?

Salah. Jeremiah Sangkara.

Temannya yang sejak Taman Kanak-Kanak hingga usia 32 tahun tak terpisahkan?

Pria yang dulu tantrum, ngamuk-ngamuk, dan menangis di tengah jalan sampai menjadi bahan tontonan tetangga, bikin malu dirinya, karena kesal namanya diplesetkan oleh teman-teman komplek menjadi Jeremy Teti.

“APAA?? CEPET NGOMONG,” tukas Jimmy ketus. “Bikin orang emosi aje ngomongnya gantung-gantung begitu.”

“Jim.”

“HAH??”

“Gua tiba-tiba kepikiran sebuah ide, deh.” Suri menaruh burgernya. “Tapi, jangan kaget ya. Biasa aja reaksinya.”

Jimmy menoleh ke arahnya sepintas. “Apa?”

Beberapa detik keheningan di sana, menggantungkan Jimmy dalam tanda tanya.

“Ide gila macam apa? Kita travelling ke Bromo sekarang? Gua yang bayarin? Ayo. Gas.”

“Kenapa gak kita aja yang nikah?”

“Apa?”

“Lo mau, gak?” Suri menggantungkan kalimatnya sesaat kemudian melanjutkan, “Nikah sama gue?”

Rahang Jimmy spontan berhenti mengunyah. Tangannya berhenti mengoles saos sambal ke nuggetnya. Matanya membulat sempurna. “Hah?” tanyanya dengan mulut penuh makanan.

21 Febuari. Di tempat parkiran Mcd. Suri melamarnya.[]

@bangtandraft

--

--