41.2 Hutang Ditagih

abel
13 min readMar 28, 2024

--

ii. perfect stranger

Sebenarnya, dalam tongkrongan 3 manusia itu, terdapat adat istiadat yang dipelihara sampai 26 tahun berteman.

Setiap menyelesaikan hari, mereka akan bertemu di satu titik. Di tengah-tengah Kota Jakarta (gak tahu sebenarnya bagian tengah Ibu Kota Jakarta dimana?).

Entah diisi dengan makan atau hanya mengobrol. Atau bertemu di suatu bar dekat Sarinah. Maka dari itulah yang menjadi dasar pria bernama asli Atlas Tenggara (berakhir jadi Ateng) sedikit .. murka.

Mereka biasanya sepakat dalam banyak hal. Mereka sama-sama sepakat kalau Gultik Blok M adalah makanan closingan terbadabest dimakan setelah dugem atau ngonser.

Mereka sepakat bahwa Deoksun memang deserve berakhir bersama Taek ketimbang dengan Jungpal. Peeta Mellark dalam film Hunger Games bukan bebannya Katniss. Rachel Yoo dalam drama The Heirs bukan villain.

Mereka bertiga juga kompak menyukai drama korea. Sampai-sampai saat masa SMA-nya, dia menjadi pusat iri hati anak-anak sebayanya. Sepele, tapi mereka merasa takjub melihat laki-laki suka drama korea. Apalagi pilihan drama yang ditonton macam, 2521 atau Dream High alih-alih Kingdom atau Designated Survivor: 60 Days. Soalnya, pacar-pacar mereka suka kritik kesukaan mereka. Kadang juga, gak mau dengerin rant mereka tentang karakter drakor yang ditonton misalnya.

Pertemanan mereka juga telah survive melalui banyak perbedaan.

Suri yang tidak begitu menyukai Coldplay karena menurutnya lagu mereka itu lagu ngantuk, sementara Jimmy dan Ateng menyukainya. Ateng yang kurang begitu suka lagu Taylor Swift karena menurutnya penyanyi itu hanya menjual kisah percintaannya, sementara Suri penggemarnya.

Jimmy paling doyan pedas. Tipikal manusia yang paling bikin tukang bakso was-was karena nuang cabe setempat-tempatnya. Sementara, Ateng anti pedas. Ada kalanya, Jimmy benci banget sama Ateng karena bilang saos sambel dari Indomie aja dia bilang itu udah pedes banget. Reaksinya persis orang abis makan seblak level 5. Suri sampai sempat kecewa melihat temannya tumbuh jadi cowok pick me, pikirnya. Perkara Ateng minum air bergelas-gelas cuma karena Indomie gorengnya dimasukin saos sambel sama Suri. Taunya, faktanya memang Ateng tidak kuat pedas. Tapi, kalau Suri sendiri, dia suka pedes tapi bukan penggemar berat makanan pedas.

Akan tetapi, atas semua perbedaan tersebut. Tidak pernah sampai memisahkan mereka. Mereka dapat mengatasi perbedaan tersebut dan tetap terus berteman. Tetapi, Ateng tidak pernah merasa sampai sejauh ini sebelumnya.

Terdapat jurang pemisah besar yang memberi jarak mereka.

Jimmy dan Suri yang mendadak punya banyak rahasia tanpa melibatkan dirinya. Jimmy yang entah sejak kapan, tumbuh menjadi orang dewasa yang setenang lautan samudra (dalam dan misterius). Jimmy yang hanya akan menceritakan soal project-project yang dia kerjain dan teh atau hal-hal kotor di pemerintahan (karena dia banyak main sama government event, dia punya banyak koneksi orang sana) alih-alih rahasia tergelapnya.

Tetapi, Suri pernah membahas perubahan Jimmy dengan Ateng.

Lelaki itu tidak senang menerima kritikan mengenai kehidupannya. Sejak saat itu, ia enggan untuk bercerita karena dunia mereka bertiga sejujurnya jomplang banget. Kontras seratus delapan puluh derajat dengan Ateng yang hidupnya tertata rapih. Bersih. Pria yang sangat menjaga hidupnya. Setiap ada after party terkait pekerjaannya, pria tersebut memilih pulang ke hotel kendati ikut bergabung dalam kepulan asap rokok. Lintingan ganja. Kegelapan gemerlap dunia malam. Dan, perempuan. Ia tidak lemah dengan wanita, seperti Jimmy.

Ateng pernah dengar, ketika beranjak dewasa individu manusia banyak berubah. Sepertinya, usia 32 tahun adalah waktunya.

Sudah lama ia tidak melihat mata sipit Jimmy yang tersenyum setiap kali tertawa. Sudah lama ia tidak melihat percikan cahaya di sana.

Suri sudah tidak excited dengan cowok koreanya (read: idol). Sehingga, yang dirasa lelaki itu setiap melihat senyuman Suri, terasa seperti hanya siasat belaka untuk menutupi kuburan dalam hatinya.

Jimmy yang Ateng yakin, kehilangan kenyamanan untuk menceritakan pengalaman pertamanya jatuh cinta karena Suri yang benci dengan perubahan lifestyle Jimmy. Ateng jelas menyadarinya. Kalista. Dari sudut pandangnya sebagai sesama pria, Jeremiah Sangkara jatuh cinta. Tidak Kalista sendirian yang melanggar peraturan fuck buddy mereka. Jimmy enggan memberontak dari Suri yang memerangkapnya dalam kencan buta demi menjauhkan Jimmy dari Kalista.

Sementara, dia sendiri. Dia merasa .. tertinggal. Dia seperti bukan pengemudi dalam semesta alam ini dan hanya menjadi penumpang di semesta alam ini. Mengikuti kemanapun dunia membawanya kemanapun. Otaknya terasa seperti dalam fight or flight mode. Tetapi, tepatnya flight. Lebih persisnya lagi, auto-pilot. Dia mulai membiarkan dirinya mulai disetir oleh rasa dengki karena otaknya berada dalam mode auto-pilot itu.

Pencapaian Jimmy. Cerita Jimmy membeli rumah baru dikawasan elit. Semuanya semakin memuakannya. Sekalipun, kini namanya tersiar diseluruh penjuru negeri karena baru saja pulang dari perhelatan Runway Versace Spring Summer Fashion Show.

Semua ada masanya.

Apapun yang di bawah matahari, tidak ada yang baru.

Lantas apakah ini menjadi akhir dari persahabatan 26 tahun mereka?

Dan momen itu terjadi di depan matanya selagi ia memikirkannya sejak tadi. Ia alami sendiri sekarang.

“Kok pesenan gue bukan beef yakiniku …” adalah kalimat pertama yang terlontar dengan penuh kesedihan dari Suri begitu membuka bungkus makanannya.

Mata Ateng membulat seraya mengunyah makanannya. Manik matanya melirik Jimmy. “Bukannya lo sukanya chicken katsu? Gue peseninnya sesuai yang sering kalian pesen aja.”

“Iya, 5 tahun lalu. Sekarang udah bosen,” jelas Suri.

Ateng terdiam.

“Tapi, gak apa-apa. Gue makan aja. Thankyou, Ateng.”

“Sini tuker sama gue. Punya gue chicken katsu.” Jimmy menyodorkan makanannya.

“Lo bukannya suka chicken katsu juga?”

“Ya .. gapapa. Gue makan punya lo. Lo makan punya gue aja.”

Pemandangan adegan di depan matanya, membuat perasaannya yang sudah cukup buruk hari ini, semakin buruk keadaannya.

Bodoh.

Chicken Katsu yang menjadi pemicu. Membuat selaput dalam matanya terbuka lebar.

5 tahun berlalu. Bagaimana bisa dia tidak pernah tahu kalau Suri sudah bosan dengan chicken katsu?

Mengapa perasaannya terusik karena tidak dapat menjadi yang terbaik seperti Jimmy? Mengapa apapun yang keluar dari dirinya bukan yang terbaik? Keputusan, langkah, segala halnya — mengapa output dari dalam dirinya bukan yang terbaik, sekalipun hal itu menyangkut perkara sesederhana mungkin?

Mengapa ia merasa payah?

“Ikhlas gak??”

“Ikhlas lahir batin gue sama lo.”

“Oke.” Suri merebut mangkuk berisikan beef yakiniku dari tangan Jimmy. “Thankyou. Ehe,” katanya dengan imut.

Jimmy mulai membuka makanannya. Matanya sekilas menatap Ateng. “Lo pulang dari Paris tangan kosong, Teng? Ya Allah .. bener-bener. Walaupun aku tidak minta oleh-oleh, emas permata, dan juga uang .. Tapi yang kuharap engkau pulang tetap membawa kesetiaan ..” sambung lelaki itu menyanyikan lagu dangdut Rita Sugiarto.

“Eh, iya. Bentar.” Lelaki itu berlari ke kamar Suri. Lalu, sekejap keluar dan membawa sebuah kotak hitam.

Suri memicingkan mata. “Apaan, tuh??”

Ateng duduk bersila, bergabung dengan mereka duduk di lantai. Ia memberikan kotak tersebut pada Suri. “Buka.”

Mata Suri was-was menatap Ateng. Bibirnya tersenyum sumringah ketika melihat logo pada kotak tersebut bertuliskan Swarovski. “Ehey .. yang bener lo??”

“Jangan geer dulu, Ri. Entar pas dibuka kecoak,” sahut Jimmy.

“Aduh, jadi enak.” Suri mengambil kotak Swarovski itu. “Gue buka, ya?”

Ateng berusaha mengulum senyumnya yang semakin mengembang lebar. Ia mengangguk memberi persetujuan.

“Tuh, tuh. Si anjing.” Jimmy terkekeh kesenangan sembari menunjuk-nunjuk wajah Ateng. “Gue kenal muka-muka tai lo waktu mau jail, anjing.”

“Buka aja dulu, sumpah ..” Ateng ikut tertawa padahal tidak tahu apa yang lucu. “Gue gak lagi bercanda.”

Suri tidak dapat melepaskan pandangan matanya dari Ateng ketika tangannya membuka pelan kotak itu, seakan tidak akan menyia-nyiakan tiap detik yang membuatnya terlihat seperti orang bodoh dijahili oleh Ateng.

Begitu kotak terbuka, mata ketiga manusia di sana terperangah takjub.

Jimmy mencoba melihatnya lebih dekat. “Weh, beneran anjir ..”

“Lo kan orang kaya. Ngerti barang mahal.” Suri mengoper cincin swarovski itu pada Jimmy. “Coba cek. Kristalnya swarovski asli, gak?”

Ateng mengeluh tak terima, “Ya Tuhan, Suri. Gak percayaan amat sama gue, anjir.”

Cincin itu diangkatnya tinggi-tinggi. Jimmy mencoba menerawang tingkat keaslian kristal swarovski itu. “Asli ini, Ri. Gue tau ini. Lapisan Rhodium.”

“Ah, Teng ..” Suri merengek. “Lo kalau mau kasih barang jangan mahal-mahal kenapa? Entar gue ngadoin lo balik mesti lebih di atas cincin ini harganya!” seru Suri.

“Orang gue gak beli,” jawab Ateng.

“Lah, terus?”

“Itu sponsor runaway kemarin. Daripada mubazir, kan? Gue bawa pulang.”

“Emang boleh begitu?”

“Boleh. Memang buat gue. Soalnya pas runaway kemaren, gue yang pakai cincin itu. Makanya, ya. Sebenernya agak gak make sense kalo gue kasih lo cincin ini.”

“Kenapa emangnya?”

“Soalnya itu cincin buat tunangan aslinya.”

Suri mengangguk-anggukan kepala. “Ohh.” Kemudian ia tertawa. “DASAR CINA MEDIT LO. CINA GAK MAU RUGI.”

“Iyalah.” Ateng menjawab pongah. “10 tahun gue jaga toko material bokap gue.”

Jimmy menendang Ateng. “Terus gue dibawain apa dari Paris??”

Ateng merogoh sesuatu dari saku celananya. Melempar barang tersebut keluar. Miniatur Menara Eiffel.

“Anjing ..” Jimmy memungut barang mungil itu. “Bangsat .. kayak beginian gue juga bisa beli di Yayang, asu.”

“Jadi, apa aja yang gue udah ketinggalan?” tanya Ateng acuh tak acuh pada keluhan Jimmy.

“Papanya Suri masuk rumah sakit .. Terus gua diminta mamanya Suri buat cariin jodoh buat Suri .. terus — ”

Tawa Ateng menyelak kalimat Jimmy. “Buset malu sama anak SD noh.”

Suri menyambar, “BAcot.” Kemudian mengalihkan topik pembicaraan, “Gimana, Jim? First impression about Nadine?”

“Elah, alihin pembicaraan aja lo,” sahut Ateng.

“Cantik,” jawab Jimmy. Suaranya tumpang-tindih dengan Ateng.

“Selain itu.”

“Cantik aja. Gue belum bisa liat spark-nya.”

Suri menancap sendok makanannya pada gundukan nasi dalam mangkuknya. “Lo tinggalin si Kalista. Fokus sama Nadine. Gue gak pernah bisa suka sama Kalista. Percaya aja deh sama intuisi temen.”

“Iya.”

“Iya, iya, iya aja. Iya nya bisa dipertanggung jawabkan, tidak?”

“Iya aja gue, mah.”

“Gue udah jengah banget sama lo ya, Jim. Berapa kali lo ketemu perempuan yang cuma morotin lo doang?? To — ” Suri menempeleng kepala Jimmy. “ — lol.”

“Tuhan netapin sesuatu jadi dosa ternyata memang bukan tanpa alasan. Itu bikin lo terjerat sendiri akhirnya. Udah berapa juta duit lo abis diporotin cewek? Goblok.” Suri menyuap makanannya dan sesaat kemudian melanjutkan lagi ocehannya, “Kali ini, Nadine temen gue. Gue tau persis dia kayak gimana orangnya. Gak bakal dia porotin lo. Pelan-pelan buka hati buat dia, oke??”

Ateng menyikut Jimmy. “Dengerin, noh .. Stop main cewek.”

Yang dibicarakan hanya sibuk makan tanpa menatap mata mereka. “Kalau gue main cewek, tiap hari lo bakal liat cewe yang gue ewe-in beda-beda.”

“Bangsat banget omongan lo. Lama-lama gue gampar,” sahut Ateng.

“Gue juga gak murahan kali? Tiap fwb, gue komit sama satu orang.”

“Tiap.” Ateng mendenguskan napas kasar sembari mengulang ucapan sahabatnya itu. “In case, otak lo lagi berkabut sekarang, gue bantu ingetin nih ya sekarang. Baru kali ini lo komit sama satu orang. Si Kalista doang. Kemaren-kemaren apaan?”

Situasi mulai memanas. Suri lantas memisahkan perdebatan kedua orang itu.

“Kalau lo bingung cara ngabisin duit lo, mending biayain hidup gue. Jajanin gue. Gue bersedia BANGET jadi sugar baby lo.”

Jimmy diam bergeming. Ia sudah terlalu malas dan jengkel untuk berdebat. Kalau ia bilang, “Yang kali ini, beda.” Akankah mereka menerima begitu saja? Ia benci pembahasan ini. Ia benci Kalista dibicarakan yang tidak-tidak di sini. “Lo coba sekarang.” Jimmy mengganti topik. “Kenapa bisa si William gak anter lo pulang? Pasti lo berbuat sesuatu yang bikin dia ilfeel.”

“Kayaknya iya, deh. Dia ilfeel sama gue. Soalnya gue bilang, gue gak kuliah. Gue cuma lulusan sekolah penerbangan. Songong banget, tai.” Suri melempar sumpitnya ke lantai sebagai pelampiasan kejengkelannya. “Masih relevan apa, pandang perempuan sebelah mata gitu? Mau kuliah tinggi, mau kagak kuliah, semua wanita punya value …”

Iya, tapi lo mandang sebelah mata Kalista juga, batin Jimmy.

“… Dia ngerasa gue gak setara sama dia kali? Tadi pas gue bilang, gue cuma sekolah pramugari. Gak kuliah. Mukanya langsung beda. ASAL LO TAU.” Jari Suri menunjuk-nunjuk seakan ada William Siregar di depan matanya. “MASUK SEKOLAH PENERBANGAN, BAYARNYA JUGA PULUHAN JUTA. SAMA AJA.”

Rona wajah Ateng mencebik sebal. “Idih. Orang kayak gitu pantes jadi caleg kali?” sahut Ateng. “Katro tuh cowok berarti. Otaknya gak modern.”

“William bukan tipe yang close minded gitu. Pasti ada hal yang bikin dia lost respect sama lo,” ujar Jimmy.

“Ya .. tadi gue sempet keceplosan ketawa, sih.”

Kedua alis Jimmy menyatu bingung.

“Cara dia ngomong lucu banget, anjir. Bukan lucu. Kocak. Kaku banget kayak orangtua angkatan zaman penjajahan. Terus dia masa gak tau cara screenshot hp. Ya gue ketawa lah. Tapi cuma kecil gitu. Abis itu, dia cabut.”

“Udah tua emangnya?”

“Setahun diatas kita.”

Jimmy merotasi bola matanya malas. “Ya, emangnya orang agak kaku. Bantuin aja, kenapa?” Ia melanjutkan, “Ya, udah. Entar gue kenalin sama temen gue,” ucap Ateng.

“Gue udah muak lah dijodohin begini. Gak usah dengerin kata nyokap gue lagi, Jim. Emangnya lo kacung nyokap gue?” ujar Suri. “Emang apa yang lo pikirkan kalau dijodohin? Kayak di AU atau novel gitu? Happy gitu? Happily ever after? Tiba-tiba ada plot twist takdir hidup lo, tiba-tiba nikah sama cowo kelas atas tajir melintir? Yang ada malu, anjir. Maluuuu.” Suri mendenguskan napas kasar. “Umur udah 32 tahun, tapi masalah jodoh aja masih dicariin. Sama Jimmy lagi.”

“Ada apa dengan gue?”

“Lo kan womanizer, ya. Lo mudah banget dapetin pasangan hidup dengan spek lo itu. Temen gue aja baru pertemuan pertama, udah kepincut sama lo. Terus, gue? Buat urusan jodoh aja masih harus dicariin sama lo. Itu yang bikin gue malu.”

Jimmy berdeham. “Nadine suka sama gue?”

“BISA BEREMPATI DULU SAMA GUE GAK?” seru Suri.

“Sorry.”

Suri menelan makanannya terlebih dahulu sebelum melanjutkan, “Gua juga gak habis pikir sama jalan pikir nyokap gue. Dimana ada orang kenal satu hari, besoknya langsung nikah? Eh.”

“Apa?” Ateng menunggu Suri.

“Apa gue cari laki di club aja, ya? Terus ONS. Kalau bunting, tinggal dikawinin.”

Ateng menampol bibir Suri. “Mulutnya minta dibaptis 15 menit.”

“Mati lah gue 15 menit, Teng.”

“Memang itu tujuannya.”

Jimmy berlagak hendak menonjok Suri. “Bukan cowoknya yang gue gamparin, lo yang gue gamparin Ri.”

“Ngerti kan perasaannya?” tanya Suri.

“Hah?”

“Lo gak seneng temen lo bertindak begitu. Gimana dengan Kalista? Lo perlakukan dia bagaikan object.”

“Itu kan udah atas consent dua orang,” jawab Jimmy. “Eh gue lagi nasehatin lo, gak usah lemparin balik ke gue.”

Suri menyuap kembali makanannya. “Menikah itu cuma bukan dua orang menikah. Tapi, keluarga dari kedua orang itu juga menikah. Gimana caranya banyak kepala disatuin untuk menikah dalam waktu singkat? Sementara, Mama mau gua secepatnya nikah sebelum bokap gue ..”

Suri kesulitan melanjutkan kalimatnya, lantas Ateng yang melengkapi kalimatnya. “Iya, paham.”

“Iya, itu. Maksain diri banget. Gua nya juga gak berani ngelawan beliau.” Suri menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir. “Ini gua mau cari cowok kemana lagi coba?” katanya disaat ada 2 pria lainnya dalam ruang apartemennya.

“Menurut gua, lo gak seharusnya anggap ucapan nyokap lo serius. Orang waras juga bisa mikir, menikah gak bisa sembarangan. Udah saatnya melawan nyokap lo,” jelas Jimmy.

“Gimana maksudnya? Mau kena gampar apa?”

“Dengerin gua dulu,” selak Jimmy. “Tapi, bukan dengan cara kurang ajar. Maksudnya, lo berdiri untuk kebenaran yang lo pegang. Lo sadar nikah gak bisa sembarangan, ya udah. Nikah di saat lo siap nikah.”

Keheningan melanda ruangan tersebut untuk beberapa saat.

“Lo mau ngomong apa sih sebenernya?” sahut Suri. “Ya, iyalah nikah disaatnya siap. Itu yang gue omongin daritadi!”

“Gak tau juga.” Jimmy tertawa disusul Ateng yang ikut tertawa.

Ateng masih tertawa. “Dia ngomong sesuai rekomendasi keyboard.”

“Kalau gak ada hal bagus yang bisa lo keluarin, diem aja deh,” balas Suri.

“Sebenernya, gue masih gak ngerti duduk perkaranya,” ucap Ateng. “Maksud gue, lo biasanya paling lantang keluarin opini lo di depan keluarga. Kalau lo gak mau, ya gak mau. Kenapa lo jadi longgar begini? Jelas-jelas perintah nyokap lo gak masuk akal. Orang mana mau menikah nyiapin semuanya cuma dalam satu malam?”

“Iya. Kalau bukan karena Papa, gue gak bakal setujuin perjodohan begini. Titik beratnya di sini ‘tuh, Papa. Lo tahu sendiri Papa gue baiknya kayak apa.”

“Bokap gue pengen punya cucu. Waktu itu, dia pulang dari reuni SMA-nya. Terus cerita soal kabar temen-temennya ke gua sama Mama. Terus dia cerita, temen-temennya udah pada gendong cucu. Papa gua ditanyain sama temen-temennya, kapan mau gendong cucu?”

Jimmy menyela Suri bercerita. Ia tertawa. “Pertanyaan kayak gitu masih ada aja sampe kita tua, anjir.”

Suri ikut terkekeh. “Iya, makanya gua juga baru tau. Reuni kakek-kakek isinya ternyata nanyainnya, kapan punya cucu?”

“Waktu kuliah, ditanya kapan lulus? Gedean dikit, ditanya kapan nikah? Abis acara resepsi, ditanya kapan punya anak? Abis lahir anak pertama, ditanya kapan bikin adek buat si kakak? Sekarang udah stable pun ditanya, kapan gendong cucu?” timpal Jimmy.

Wanita itu menarik napas dalam dan mengeluarkannya. “Ya, begitulah. Gara-gara bokap gue ngomong begitu. Dia bilang, dia kangen ada bayi di rumah. Sekarang udah gak ada yang bisa dia urusin. Gue jadi kepikiran. Orangtua kita di masa tua justru malah kangen urus anak karena anak-anaknya udah pada gede. Udah punya jalan masing-masing di kehidupan. Jadinya, gue mau nikah semata-mata biar bokap gue gak kesepian di masa tua. Main sama cucu. Mungkin visi gue soal pernikahan cetek, ya. Tapi, ya udah lah. Lagian, gua anak tunggal juga. Bokap gue seneng ngurus anak.”

Jemari pria itu tahu-tahu, bergerak menyentuh helaian anak-anak rambut di dahi Suri. Membantu menyingkirkan mereka yang mulai menghalangi pandangan mata Suri. “Iya, sih.” Senyuman mengemban di wajah pria tersebut. “Keliatan dari cara gimana si om besarin anaknya.”

“Eum .. Maap. Itu tangan lo amis, btw. TERUS LO MEGANG-MEGANG RAMBUT GUE?”

Seolah angin lalu, Jimmy terus melanjutkan monolognya. “Keliatan dari gimana anaknya tumbuh besar sekarang,” sambung Jimmy. “Anaknya baik. Gak suka pilih-pilih temen. Gak suka beda-bedain sesama manusia. Semuanya diajak main.”

Suri merasa aneh karena perubahan Jimmy mendadak memuji dirinya. Tetapi, dia terus meladeni Jimmy. “Jim? Aneh, Jim. Lo gak cocok begini. Najis.”

“Anaknya ajakin temennya biar bisa join jalan-jalan sama keluarganya ke Jogja waktu libur kenaikan kelas. Soalnya tau temennya ini punya keluarga hancur. Travelling bareng keluarga itu salah satu memori yang gak akan bisa temennya ini miliki semasa kecil.”

“Ih, jijik deh lo begini.”

“Anaknya minta Mamanya kalau bikin bekal ke sekolah itu bikinnya dua. Soalnya anaknya ini tau, temennya lagi kesulitan ekonomi jadi sering susah buat beli makan.”

“Anaknya ini, sering banget bayarin temennya tiket nonton bioskop setiap kali film Marvel tayang, soalnya tau temennya ini penggemar Marvel tapi sayangnya gak bisa ikutin semua universe-nya soalnya waktu itu temennya ini lagi kesulitan ekonomi.”

“Jangan bahas itu lagi, please.”

“Anaknya ini, rela-relain ngorbanin harga dirinya buat hubungin neneknya lagi yang udah dia banned dari kehidupan dia demi minta Maharatu Group adain program beasiswa demi gue supaya bisa kuliah. And, here i am now.”

Jari Suri menutup masing-masing telinganya. Pundaknya bergidik tatkala tengkuk lehernya meremang. “Stop ungkit itu. Gue ke trigger tiap denger kata ‘nenek’ atau Maharatu Group.”

“Terus — ”

“STOPPPPP.”

“Anaknya ini sekarang BAU BANGET TAI KAMBING SOALNYA BELOM MANDI.” Jimmy menendang bokong Suri hingga wanita itu terjerembab ke samping. “Mandi sono lo. Lo abis nyari kambing buat kurban apa gimana? BAU BANGET.”

“Setan.”

Suri beranjak dengan susah payah setelah terjerembab. “Please, sadar dong. Gue juga perempuan. Jadi laki bisa yang alus dikit sama perempuan, gak? Mana ada cowok nendang cewek,” serunya sambil berlalu dari hadapan Jimmy.

“Ya, kalo gue terapin mata ganti mata, entar gue bales *cute mau??? Lo kan sering cute gue tuh,” balas Jimmy.

Suri keluar lagi dari kamar mandi semata-mata hanya untuk menyentil mulut Jimmy yang tidak berakhlak itu.

Itulah mengapa sebabnya, pemuda tersebut diam-diam — tanpa diketahui sahabat kecilnya itu. Telah membuat perjanjian dengan dirinya sendiri.

Bahwa, ia akan melakukan apapun sebagai ganti balas budi semua kebaikan Suri dan keluarganya semasa hidupnya. Apapun permintaannya. Pemuda itu telah diam-diam berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ia akan membahagiakan wanita itu dan tidak sekalipun melukai hatinya. Berapapun harga yang harus ia bayar.

Tanpa lelaki itu tahu. Harinya akan tiba. Dan, hari ini adalah harinya.

Dimana semua janji tersembunyinya ditagih oleh sang Semesta.[]

@bangtandraft

CUTE: CUbit TEte

--

--