41. Hutang Ditagih

abel
8 min readMar 16, 2024

--

i. about them

2025, 25 tahun.

“Jim.”

Suara pertama Suri menyambut seusai pria tersebut menerima panggilan telpon Suri.

“APA? BURUAN. GUE SIBUK. LAGI PUSH RANK SAMA ATENG. NOTIF TELPON LU BIKIN HP GUE NGELAG, ANJINGGG.”

“Lo bisa ke rumah gue sekarang, gak?”

Kening Jimmy mulai menyerngit bingung. Menyadari suara Suri terdengar rentan bercampur parau. “Kenapa? Abis nangis lu? Kalau mau ngomongin si Nugros, entar aja. Gue lagi push rank sama Ateng.”

“Kayaknya gue hamil, deh.”

“Belom berak 2 minggu, kan? Tau gue. Basi banget jokes lu tau, gak? Kebanyakan nongkrong sama si Abdul.”

“Abdul?”

“Itu yang kapten pilot di maskapai lo. Jokes-nya garing.”

“Oh, Pak Rajasa.”

Tumben? Gak marah crushnya dipanggil Abdul. Beneran sakit?

“Perut gue mual banget udah 3 hari. Gak masuk apa-apa. Muntah terus.”

“Minum omeprazole. Atau, minum air kelapa. Temen kantor gue kalo gerdnya kambuh, suka minum air kelapa. Kata temen gue, air kelapa bisa ngilangin rasa mual sama muntah. Atau gak, minum air anget dulu. Entar sore gue beliin air kelapanya. Kalo sekarang gak bisa soalnya lagi push rank. Sanggup jalan ke dapur sendiri, gak?”

“Udah sebulan telat datang bulan.”

“KONTOL,” jerit Ateng. “Si anjing malah AFK. Woi, Jimmy!”

Jimmy sontak terbangun dari duduknya. Ponsel yang semula ia gunakan untuk bermain, kini menempel di rungunya. “Lo lagi gak bercanda?”

“Aduh, aduh, jangan bikin gue emosi. Gue lagi gak ada tenaga buat maki-maki lo, nih. Bisa-bisanya gue udah lemes begini dibilang bercanda, dasar manusia paling pinter sedunia.”

“Ya, ya, ya. Gue ke sana sekarang. ”Tangan Jimmy yang tengah memegang ponsel kini terjatuh lemas. Ia tercenung sesaat disaat Ateng berseru marah padanya, “Gue backup sendirian ini, tolol!”

“Suri hamil.”

“Hah? Gimana?”

“SURI HAMIL,” seru Jimmy lebih kencang. “Harus gimana kita?”

Ateng sontak meninggalkan permainan tanpa berpikir dua kali. Ia beranjak dan satu ide impulsif mendorong pria tersebut untuk melayangkan satu tonjokan keras pada wajah Jimmy.

“Semua cewe lo jadiin mainan, sampai temen sendiri tega lo mainin? OTAK LO PINDAH KE SELANGKANGAN MAKANYA GAK BISA MIKIR LAGI, TOLOL.”

Jimmy berseru kencang, “BUKAN GUE BAPAKNYA, GOBLOK.”

“Oh.” Lelaki itu lantas berlari ke dapur. Mencari kunci motornya. “Ayo, ke apart Suri sekarang.”

“Daripada kita ragu-ragu ini hamil atau bukan, mending kita langsung ke obgyn aja. Biar langsung dapet jawaban pasti.”

Demikianlah hasil rembukan mereka beberapa waktu yang lalu. Dan, di sini lah mereka.

“Jim, duduk sini.” Suri menepuk satu kursi di sampingnya begitu menyadari Jimmy tidak dapat duduk tenang. Duduk satu menit, lalu berjalan mondar-mandir lagi selama 5 menit. “Ada yang harus dibahas dulu.”

Jimmy segera duduk di samping Suri. “Apa? Kenapa? Perutnya gak enak? Ngidam apa?”

Tetapi, pertanyaan Jimmy dibalas pukulan keras oleh Suri. “Gue belom resmi jadi ibu hamil.” Suaranya memelan saat melanjutkan kalimatnya, “Dan, gak mau juga jadi ibu hamil.”

Ateng yang duduk disisi kiri Suri, memegang tangan wanita tersebut erat. “Gak usah takut. Kita bertiga. Lu gak sendirian hadapi ini.”

Suri hanya mengangguk dan tersenyum.

“Lu udah siap kasih tahu nyokap?” tanya Jimmy.

Suri diam tak bergeming. Manik hitam dalam netranya bergerak cepat. Mencari keputusan dalam kepalanya. Ia menarik napas sebelum menjawab, “Cepat atau lambat, harus gue kasih tau.” Kepalanya mengangguk-angguk seakan setuju dengan isi kepalanya sendiri. “Eh, kalau gak, gue bilang aja gue hamil anak lu atau anak Ateng. Kayaknya bakal lebih gampang direstuinnya secara udah kenal lu berdua dari TK.”

Ateng tersentak. “Maap, gue tau lu lagi gak baik-baik aja sekarang. Tapi, izinin gue buat maki lu. GOBLOK. GAK ADA OTAKNYA.”

Jimmy mengusap kedua pahanya. “Kalo gue nikah sama lo dengan cara begitu, gue bakalan jadi mantu yang tertindas dan terzolimi.”

“Kalau ayah bayinya kabur, gak mau tanggung jawab. Lu pada mau jadi ayah sambung cabang bayinya gak?” tanya Suri.

“Jabang bayi, Suri.”

Kalau Suri lagi dalam keadaan baik-baik aja sekarang, udah Jimmy anjing-anjingin. Bikin emosi aja jawabannya.

“Iya, mau.” Jawaban itu berasal dari Ateng. “Gak usah takut.”

Mata Jimmy terbelalak. Sontak menyikut Ateng. “Sanggup lu biayain SPP sekolahnya entar? Sekarang aja SPP anak udah tembus 1 juta buat sekolah swasta. Apalagi 10 tahun ke depan?”

“Kan kita bagi dua bayarnya. Jadi enteng.”

“Lu ngomongin masalah bayar SPP kayak kita mau patungan sewa lapangan futsal, anjing.” Jimmy menarik napas dalam. “Kalau ayah jabang bayinya kabur, gue akan bikin Nugros tanggung dosanya. Gimanapun caranya.”

“Masalahnya.” Ucapan Suri menggantung. “Gue gak tau siapa bapaknya.”

Kalimat terakhir itu, cukup menghanyutkan kedua lelaki itu ke dalam keheningan yang panjang.

Jimmy seketika menyadari tangan Suri bergetar. Pikirannya meliar. Apa dia menjadi korban kekerasan seksual? Mengingat lingkungan tempat Suri bekerja umumnya tidak jauh dari kasus semacam itu. Jantung Jimmy berdetak seratus kali lebih cepat ketika pikiran itu tercetus. Tidak.

“Kenapa lu ngomong kayak gitu, Ri?” tanya Jimmy mencoba memancing.

Suri melirik Jimmy sepintas. Kemudian menghela napas. Mata wanita itu turun menatap jari-jemarinya dan memijatnya lembut. “Kalau gue boleh jujur, sekarang gue takut banget. Gue mikirin posibilitas kapan gue dilecehin disaat gue gak sadar.”

Oh, God ..

Suara wanita itu mulai bergetar. Dipenuhi ketakutan bercampur perasaan jengkel ditatapnya Jimmy. “Liat. Tangan gue gemetar parah, Jim?? Gak berhenti daritadi. Kesel,” katanya hampir menangis.

Ateng menempatkan diri kembali duduk disisi Suri. Lelaki itu membuat dirinya berhambur ke dalam pelukan. Memeluk Suri erat. “All is well.” Tangannya mengusap lembut surai wanita tersebut. “Tenang. Lu aman. Kita bisa atasi ini sama-sama, ya?”

Tepat sesaat itu, pintu ruang praktek dr. Vanessa Sondakh, Sp.OG terbuka. Mata ketiga manusia di kursi paling belakang lantas melirik ke arah suara derit pintu.

“Antrian 103?”

Suri berserta kedua anak itiknya beranjak dari kursi dan pergi menuju ruang praktek. Namun ketika Suri masuk, Jimmy dan Ateng bersiteru di depan pintu. Berebut siapa yang patut untuk masuk tatkala tubuh mereka beberapa kali menabrak satu sama lain ketika hendak masuk.

“Maaf.” Suster dari dokter Vanessa menginterupsi keduanya. “Salah satu saja yang masuk, ya. Siapa walinya?”

“Tuh denger. Satu-satu masuknya. Ini pintunya cuma muat satu orang. Gak usah maruk. Lu tunggu diluar aja. Entar gue kabarin hasilnya,” ujar Jimmy.

Ateng menolak tak terima. “Biasanya bisa berame-rame masuknya, sus.”

Sang suster hanya tersenyum.

“Gak bisa. Lu gak ngerti penjelasan dokternya entar. Gue udah pernah nemenin sepupu gue yang hamil ke obgyn. Lu aja yang tunggu diluar,” sambung Ateng.

“Gue record percakapan dokternya,” ucap Jimmy tak mau kalah. “Entar gue kasih ke lu hasil recordnya.”

“Hasil record hp belum tentu jernih. Lebih baik, orang yang berpengalaman yang masuk.”

“Gue aja.”

“Gue.”

“Gue!”

Ateng menatap Jimmy pongah. “Gue lebih dulu temenan sama Suri. Technically 28 tahun. Lu 26 tahun.”

“Mereka bukan wali saya, sus. Saya gak perlu wali,” ucap Suri tiba-tiba. “Langsung mulai aja, dok.”

Pintu ruang praktek terbuka. Jimmy dan Ateng tidak dapat duduk dengan tenang, lantas memilih menunggu sembari berdiri di samping pintu.

Suri keluar dari ruangan dan menutup pintu di belakangnya.

“Apa hasilnya?” tanya Jimmy.

Jika dibaca dari raut wajah Suri, ini jelas kabar buruk. Akhir dari kehidupan mereka. Tidak.

Kedua lelaki itu menanti Suri memberikan jawaban dengan sabar. Sebenarnya, mereka tidak sesabar itu. Situasi ini berlaku karena Suri sedang tidak baik-baik saja.

“Asam lambung doang,” ucap Suri disertai senyuman sumringah. Kemudian wanita itu meloncat-loncat diiringi joget-joget gak jelas. “Gak jadi hamil woy!!!” serunya penuh kemenangan ditengah-tengah para calon ibu yang berbahagia. Ditengah-tengah para calon ibu yang gelisah atas hasil vonis kondisi janin mereka. Ditengah-tengah para remaja yang punya harapan seperti Suri. Ditengah-tengah pasangan yang tengah memanjatkan doa agar program bayi tabung mereka kali ini dapat berhasil setelah banyak kali mencoba.

“Dokternya rujuk gue ke dokter spesialis penyakit dalam biar diresepin obat lambung, katanya gue stress aja — ” Ateng dan Jimmy menyadari seluruh mata tertuju pada mereka. Tatapan tidak respect terhadap mereka. Lantas cepat-cepat mereka menggeret teman mereka itu menjauh dari area ibu dan anak sebelum kata-katanya menyakiti banyak orang. “Loh, loh. Pada kenapa sih ini? Woy??” tanya Suri watados.

2032, 32 tahun

We Can’t Be Friends dari Ariana Grande mati dalam sekejap tanpa basa-basi dari tape mobil Jimmy tatkala ia mematikan mesin mobil ketika kendaraan tersebut tiba ditempat Suri memberikan share location nya.

Dari dalam mobil, matanya dapat menangkap punggung Suri. Wanita tersebut berjongkok dipinggir trotoar di seberang sana dengan balutan dress hitam dan purse Diornya. Ya, Tuhan. Jimmy menghembuskan napas kasar tatkala rasa malu menggerayangi mulai dari leher sampai ke ujung kakinya.

Kenapa dia memilih ngemper dipinggir jalan ketimbang pilih menunggu Jimmy di salah satu kafe sekitar, sih? Ya, Tuhan. Mungkin pemandangan Suri sekarang ini yang sering disebut orang-orang sebagai pengemis berdasi.

Dan, sekarang. Apa coba yang ia lakukan?

Menemani wanita itu pergi ke obgyn. Nyaris menjadi ayah sambung dari anak wanita itu kalau saja hari itu Suri memang hamil. Meladeni setiap curhatan perempuan itu tentang pria lain. Sekarang, mencarikan calon untuk Suri atas perintah Nyonya Besar. Menjemput si Nyonya Kecil yang dicampakan oleh teman kencan butanya.

Lantas, apalagi yang akan ia lakukan untuk wanita itu? Tak terbayangkan jika situasi ini dihadapi oleh Jimmy yang berusia 25 tahun. Dia akan kacau balau. Atau, mungkin maju paling pertama yang mengajukan diri sebagai calon suami Suri. Tapi sekarang, semua tak bersisa lagi. Dia telah salah mengenali perasaannya selama ini.

Berapa tahun lagi ia terjebak bersama wanita itu?

Selamanya?

Lelaki itu melepas seatbelt. Dan, segera turun dari mobilnya.

Menyeberang jalan raya. Kini, dua pengemis berdasi itu bertemu. Jimmy menendang bokong Suri, membuat perempuan itu terjerembab ke depan sebelum akhirnya ia ikut bergabung berjongkok di sampingnya.

“Kontol lo ngajak ribut — ” Kalimatnya terputus ketika menoleh ke samping. “Eh, ayang.”

“Lo bisa milih nunggu gue di kafe. Kenapa ngemper di sini, sih? Bikin malu.”

“Gajian belum cair.”

“Ngibul banget. Mana ada lo ngalamin namanya tanggal tua.”

Kemudian hening. Sama-sama berjongkok di pinggir jalan. Menonton hiruk-pikuk jalanan area BSD yang melesat kencang.

“Asem mulut gue,” ucap Jimmy membuka keheningan. “Ngerokok, ya?”

“Gak.”

“Satu batang aja.”

“Ngudud mulu. Entar lo tua kalo bengek jangan telpon gue.”

“Ya, iyalah. Kan ada istri gue.”

“Ucap seorang yang ngomong, i don’t believe in marriage. Pret.”

“Setengah batang, deh. Abis itu udahan.”

“Gue bilang, jangan ngerokok deket gue.”

“Hadeh.” Jimmy lantas bangkit berdri. Mengulurkan tangannya dan diraih oleh Suri untuk membantunya berdiri. “Ya udah, ayo pulang.”

Sesuatu mendadak terbesit dalam benak Suri. “Acara lo sama Nadine udah selesai emangnya?” tanyanya.

“Belum. Gue pamit duluan.”

“Dih, kok gitu?”

“Lo tadi bilangnya, minta jemput. Gimana, sih?”

Suri melipat kedua tangannya. “Ya, maksudnya, gue kan gak tau lo udah selesai atau belom acara sama Nadinenya. Lo aturan ngomong. Kalo lo ngomong, biar gue atur gimana enaknya. Gue bisa pulang naik gocar. Gue jadi gak enak sama Nadine, deh.”

“Ya, udah .. Udah malem lagian. Ngeri.” Jimmy melirik Suri ketika menyadari ucapannya terasa penuh empati. Ia lantas meralat kata-katanya, “Bukannya apa-apa, ya. Entar kalo lo kenapa-napa di jalan, gue juga yang kena semprot nyokap lo.” Jimmy bergumam, “Udah bener nyokap gue gak ngasih adek buat gue. Malah ada lo.”

Bibir Suri mencibir Jimmy tanpa suara. “Terus,” ucapnya menjeda sejenak. “Nadine gimana? Gue jadi gak enak sama Nadine kalau kayak gini. Entar Nadine mandang gue kayak stereotypical temen perempuan yang rese kalo temen cowoknya punya pacar.”

Jarinya mengusap hidungnya selagi mencari jawaban dalam kepalanya. Ia tidak terpikir ke sana. “Gak penting. Entar kalau gue kena semprot nyokap lo, gue gak bisa ngerasain semur ayam Tante lagi.”

“Ribet amat cuma mau bilang, gue prioritas lo.”

Bahu Jimmy bergidik geli. Hidungnya menyergit sembari tersenyum tipis. “Mual gue dengernya.”

--

--