30 menit yang lalu ..

abel
7 min readJan 19, 2024

--

content warning: violence.

“Ken, aku gak pernah tanya ini deh.”

Brian butuh waktu untuk menyadari bahwa dua kursi tribun sekolah di depannya diisi oleh Akira dan Papanya yang tengah menyelamatkan diri dari terik musim kemarau. Akira bersandar pada Kenzie seolah menjadikannya batang pohon yang kokoh nan rimbun. Mengemut es mambo milonya. Ah, pria sialan itu.

“Kita kan tinggal 6 bulan lagi di sekolah ini. Cita-cita kamu apa?”

Cara bagaimana kepala pria itu kini menoleh ke arah tribun sebelah. Tidak melepaskan pandangan matanya dari seorang Julian yang kini menjulurkan tangannya, merangkul belakang punggung Tanisha. Tepatnya, Julian merangkul kursi Tanisha. Matanya mengeker, seperti seorang anjing penjaga. Sementara dia sedang bersama perempuan lain dan perempuannya menyandar di bahunya.

Ia berpikir, mungkin dengan melihat Papa di usia mudanya dia bisa mengubah potret diri Papa yang sudah buruk di matanya. Tetapi, nyatanya kekecewaan dan kebenciannya terhadap Papa hanya semakin menumpuk menjadi gunung yang menahan hal baik dalam dirinya.

Semua ini membuat Brian frustasi. Papa bilang, dia menyukai Mama sejak SMP. Tapi, mengapa yang dia temui sekarang malah bersama perempuan lain? Brian sama sekali tidak mengerti dengan alur pikiran Papa. Ini jauh lebih serius dari yang dibayangkan.

Sikap Papa di masa depan dan masa lalu semuanya saling terkait. Tiba pada satu kesimpulan; Papa memandang Mama sebelah mata. Mama tidak pernah berarti untuknya. Bukankah sudah jelas? Kalau memang dia menyukai Mama, mengapa dia memilih dengan perempuan lain? Oh, sebentar. Brian tahu. Brian baru menyadari sesuatu. Atau, lebih buruknya dia memang menyukai 2 wanita di saat bersamaan. Itu berarti memang sejak dulu, Papa bisa menyukai 2 wanita di saat bersamaan.

Atau, dia memang tidak terlalu mencintai Mama selama ini? Lantas, mengapa menikahinya? Brian tidak mampu memahami alur pikiran Papa.

Ia ingin mengakhiri semua ini. Ia ingin kembali ke masa depan. Di sini, tidak mengerti kenapa dia merasa lebih sakit. Meskipun ia menghilang nantinya, tak masalah. Tapi, satu hal yang pasti sebelum ia pergi sangat jauh, beri anak kecil itu kesempatan membuat Papa babak belur dengan tangannya sendiri. Satu masalahnya di sini: ia tak sudi Mamanya dijadikan opsi pilihan dan dipermainkan. Tidak di masa dulu, maupun di masa sekarang.

Akan tetapi, api dalam dada Brian sedikit mereda ketika ia mendengar jawaban Papa. Hanya untuk sementara.

Pertanyaan Akira memutus perhatian Kenzie dari Tanisha dan menjawab,“I wanna be .. a dad?”

Dia ingin menjadi seorang Papa, katanya.

Mengapa itu menjadi suatu cita-cita? Malahan bukan menjadi suatu kewajiban orang dewasa? Kalau sudah dewasa, manusia memasuki garis dimensi baru; menikah dan menjadi orangtua.

Dirinya sudah diinginkan sejauh itu? Tapi, mengapa Brian tidak pernah merasa diinginkan selama ia hidup?

“Hah?” Akira bangun dari posisi tidurnya.

“Hah?”

Kenzie termangu sesaat kemudian meralat, “Bukan maksudnya mau hamilin kamu.” Ia tertawa disela-sela ucapannya. “Aku cuma pengen aja jadi Papa. Aku pernah cerita ke kamu, kan? Aku udah atur umur aku biar bisa nikah muda. Sebelum 30 lewat, aku mau menikah. Biar jarak umur aku sama anakku gak terlampau jauh dan biar aku masih sanggup biayain anak-anak aku. Kalau anakku kuliah, aku masih usia 40 tahunan, aku masih sanggup biayain mereka.”

Kecewa. Lagi. Nyaris saja Brian kehilangan nyawanya karena berpikir dia akan menyaksikan pre-his dad villain origin story alias versi Papa sebelum negera api menyerang. Pikirnya tadi, dia memang diinginkan sejauh itu. Seandainya iya, mungkin itu sedikit mengubah pandangannya terhadap Papa. Dia akan memberi sedikit pengampunan untuk Papanya. Lagi.

Tapi, Brian keliru. Papa yang dulu, maupun sekarang, tetaplah Papa berhati dingin dan berhati keras sekeras batu karang.

Jawabannya terdengar sangat masuk akal. Sangat, sangat, terdengar seperti Papa. Tidak jauh-jauh dari pengukuran bisnis dan keuntungan. Bukan dari hati.

Brian sempat berpikir, ia akan mendengar pengakuan manis yang selama ini tidak pernah ia sangka. Mungkin akan keluar kata-kata puitis atau hal manis tentang anak dari mulutnya. But, well, hal-hal lemah lembut dan yang manis terlihat sangat kontradiktif dan tidak sesuai dengan habitat watak Papa. Malahan, barangkali pria itu tidak pernah memikirkan hal-hal semanis permen dalam otaknya.

Akira menyanggah sembari sedikit tertawa, “So sweet of you. Jarang denger jawaban model begitu dari laki-laki. Mikirin rencana nikah karena anak, bukan karena egoistik diri sendiri.” Kenzie menyadari perubahan sirat wajah Akira. Terbalut sedikit kekecewaan ketika firasat lelaki itu benar saat perempuannya bertanya, “Tapi, bukan Insinyur atau PNS atau apa gitu?”

Kenzie tertawa getir. Meralat jawaban sebelumnya, “Musician? Nyawa aku di musik. Beside being a dad.”

“Serius? Sayang loh, Ken.”

“Iya, aku sayang kamu.”

“Ih, bukan gitu.” Akira memukul Kenzie gemulai. “Musik,” sambungnya. “Kamu mau jadi musisi?”

Kenzie mengangguk. “Iya. Kenapa?”

“I mean, mhm … Kamu ngeliat dunia ini terlalu polos, ya? Papa sama Mama kamu gak pernah bebanin tuntutan masa depan sama kamu emangnya?”

“Kenapa emang musisi?”

“Musisi duitnya gak ada, Ken. Maksudnya, kerja di dunia seni itu gambling,” ujar Akira. “Antara kamu jadi miskin banget dan harus ngejalanin side job demi kebutuhan sehari-hari, atau sekalinya kaya raya, ya kaya banget. Jangan jadiin musik jadi pekerjaan utama kamu. Kamu harus ambil fokus untuk rencana ekonomi masa depan. Misal, kamu masuk STAN. Jadi akuntan. Akuntan duitnya banyak. Kamu kerja di Big 4. Masa depan kamu terjamin. Masa tua kamu juga terjamin. Atau, jadi PNS. Makanya, kan. Banyak orangtua yang ragu-ragu kalau anaknya masuk dunia seni.”

Akira melanjutkan lagi, “Kamu harus tata jalan hidup kamu sedemikian rupa supaya gak dipermainkan dunia. Jangan terlalu polos.”

Perempuan satu ini tidak tahu apa-apa. Siapa yang bilang Papa orang yang polos?

Setiap jalan hidupnya sudah ia atur sedemikian rupa. Penuh strategi. Sejak kapan ia melakukan sesuatu menggunakan hati? Papa mengencani Akira semata-mata karena cinta? Brian tahu.

Papa itu orangnya visioner. Kelewat visioner malah. Akira dijadikan pacar untuk menikah. Gunanya, agar kelak menghasilkan anak-anak yang cerdas pandai, dapat menurunkan kecerdasannya, dan hak istimewa untuk anak-anaknya agar punya titik mulai yang berbeda dari anak lainnya. Tidak seperti Mama yang melahirkan anak bodoh dan tolol dan payah (well, dia tidak pernah mengatakan itu secara eksplisit, hanya asumsi kasar Brian dari lontaran asal Papa selama ini).

Itu sebabnya, Kenzie kesampingkan perasaannya pada Tanisha karena Tanisha tidak membawa keuntungan apa-apa untuk hidup dia. Manusia sombong. Brian tahu itu. Ia mengenal orangtuanya.

Sebuah bola basket menggelinding dan berhenti diujung sepatu Kenzie. “Ken, oper!” seru salah seorang temannya.

Kenzie memungut bola basket tersebut. “Bentar, ya. Gue pinjem dulu,” katanya pada pemain di lapangan. “Jul!” Ia menyerukan nama lelaki yang tengah duduk disamping Tanisha. Anak lelaki itu menoleh ketika bola sedang melayang ke arah mukanya. Tepat ketika itu, bola bundar tersebut menimpuk wajah Julian seutuhnya.

“Anjing.” Makian Julian bergema di seantero lapangan hingga menimbulkan atensi dari sekitar.

“Ken?” Akira terperangah. “Kamu bercandanya kenapa begitu?”

Cara Papanya tetap marah dan menatap perempuan lain sementara perempuannya jelas berada disampingnya, terlebih lagi, ‘perempuan lain’ itu adalah Mamanya sendiri. Setiap jawaban bullshit yang Brian dengar. Cara Papanya menimpuk Julian dengan bola basket sebagai bentuk kecemburuan Kenzie disaat ia memiliki perempuan lain di sisinya.

Pada titik ini, Brian sudah kehabisan stok kesabaran.

Tidak ada yang dapat membuat seorang anak lebih marah daripada mempunyai orangtua pezinah, mata keranjang, dan mata yang tak pernah kenyang. Seorang penjahat murni itu adalah seseorang yang menjadi jahat tanpa alasan. Dan, itu adalah Papa. Papa, tetaplah Papa. Baik di masa mudanya, maupun di masa tuanya. Papa yang sama. Seseorang yang mampu mencintai 2 wanita. He’s just pure villain.

Semua kekecewaannya, semua masalah yang terjadi baik yang di masa kini dan yang terjadi di masa depan, semuanya terakumulasi menjadi satu bom hebat yang meledak sekarang.

Kenzie berdiri dari kursinya dan menunjuk Julian yang jauh di tribun seberang. “Itu dia risih daritadi sama lo daritadi. Gak nyadar, kah? Stop.”

“Weh, perhatiin amat?” seru Julian.

Brian menendang punggung lelaki itu dengan kakinya hingga terjerembab. Kenzie menemukan Brian berdiri di sana. Ia tak menyadari kehadiran Brian sedaritadi duduk di belakangnya. “Brian. Lo kurang ajar ya dari kemarin. Lo kenapa, sih? Ada masalah apa sama gue?”

“Banyak,” jawabnya. “Bisa gak lo cinta sama satu perempuan di satu waktu aja? If you want her in your life, act like it!” seru Brian.“Asshole.”

Menarik semakin banyak atensi. Pertandingan basket ditinggalkan. Semua mata tertuju pada perdebatan ayah-anak tersebut.

“Lo ngomong apa sih, Brian? Ngomong baik-baik. Kenapa tiba-tiba lo ngamuk, hah?”

Akira bangkit dari posisi duduknya. “Brian, stop.” Panggilnya tegas penuh penekanan tanpa meninggikan nada.

Mata Brian beralih ke arah Akira. “Pelakor dilarang berkomentar.”

Berita seketika menyebar. Brian mendorong dada Kenzie hingga lelaki itu mundur selangkah dan menggiring laki-laki itu mundur selagi terus berbicara.

“Jangan lo pikir gue baik-baik aja. Jangan lo pikir gue masih kecil terus gue gak paham apa-apa. Gue gak pernah mau benci lo. Makanya gue ambil kesempatan buat perbaiki semua. Gue kasih kesempatan ke lo! Tapi, ternyata lo gak ada bedanya dari dulu sampai sekarang. Gue jijik sama lo. Gue benci lo sampai mati. Sumpah. Lo anjing. Lebih hina dari anjing.”

Ucapan Brian dapat didengar oleh siapapun yang berada di lapangan. Meskipun ditujukan untuk Kenzie, semua orang tersentak mendengar ucapannya yang kelewat kasar.

Brian mendorong Kenzie hingga turun ke lapangan dan mendorongnya sekali lagi agar lawannya lumpuh tak berkutik. Usahanya berhasil. Kenzie terjerembab ke bawah dan Brian mengambil posisi di atas lelaki itu. Menarik kerahnya. Ia tak menghardik semua teriakan yang memanggil namanya untuk berhenti. Netra serta indera pendengarannya telah tertutupi kabut gelap. Darahnya mendidih.

“Lo bisa ngomong baik-baik kalau gue ada salah sama lo,” ucap Kenzie sebagai kata-kata terakhirnya sebelum Brian memberikan satu hantaman dari tenaga dalamnya untuk wajah Kenzie.

“LAKI-LAKI.”

Setiap kata,

“MACAM LO.”

untuk satu pukulan.

“LEBIH.”

Tak ada yang mampu menghentikan amarah Brian, meskipun Tanisha kini berlari menghampiri mereka,

“PANTES.”

sekalipun guru BK yang kini sudah turun ke lapangan, meneriaki nama mereka.

“MATI!!”

Kecuali, dirinya sendiri. Yaitu, ketika ia tersadar akan satu hal. Ketika satu sirkuit dalam otaknya tak menemukan keselarasan atau kecocokan apapun dengan memori terakhir yang ada mengenai diri Papa yang ia kenal.

Pukulannya memelan. Menyadari satu hal; Papa tidak balas menghajar.

Sebab, kini lelaki yang dihajarnya kendati memberikan pembelaan diri. Dia meringkuk seperti bayi kecil yang ketakutan dipukul. Melindungi kepalanya sendiri dengan kedua tangannya. Membiarkan posisinya lemah. Tidak memenangkan dirinya sendiri.

“Sumpah lo minggir dari situ! Gue takut dia ke trigger lagi kayak dulu.”

“Lo ngebangunin singa tidur, anjir. Cepet nyingkir dari situ!!!”

Sementara desas-desus di sekitarnya menyuruh dia menyingkir dari Kenzie. Seolah Brian telah salah masuk ke kandang singa. Salah mencari lawan.

Bahkan, hingga mereka berdua digeret menuju ruangan konseling oleh guru dan kepala sekolah, ketika ia masih duduk di kursi tunggu, raga dan batinnya masih terguncang hebat. Semua orang yang berada di lokasi kejadian menghela napas lega sekaligus bingung. Brian juga. Terus mempertanyakan satu hal dalam kepalanya.

Mengapa Papa tidak balas menghajarnya seperti yang biasa ia lakukan?

@bangtandraft

--

--